“Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu-padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok.” [Al-Hasyr 59:10]
Begitu cepat bumi Palestina berubah menjadi kehidupan yang lebih buruk di bawah penjajahan Zionis-Israel bila dibandingkan dengan politik Apartheid yang terjadi di Afrika Selatan.
Sejak Imperialis Israel bercokol menjajah bumi Palestina pada Juni 1967, rezim Israel memberlakukan politik apartheid (pemisahan etnis), menempatkan rakyat Palestina dalam sebuah isolasi besar yang kemudian dipisah dalam isolasi-isolasi kecil bersamaan dengan berjalannya waktu dan masuk dalam rencana jangka panjang Zionis-Israel.
Setelah melakukan pendudukan, misalnya, rezim Imperialis Israel melarang warga kamp-kamp pengungsi Palestina keluar dari kamp-kamp kecuali dengan surat keterangan resmi, mengancam siapapun dari luar kamp pengungsi masuk kedalamnya kecuali setelah memegang surat izin resmi. Pada saat itu, pelaksanaan keputusan tersebut tidak hanya sekadar hitam di atas putih, tetapi para penjajah imigran baru pada waktu itu sangat getol merealisasikan keputusan tersebut lewat baleho besar di gerbang masuk setiap kamp.
Keputusan rezim Imperialis Israel atas penggabungan Jerusalem Timur dan penyatuan kota tersebut merupakan langkah baru kebijakan politik pemisahan etnis, sesuai dengan keputusan parlemen Israel, Knesset, sampai-sampai seorang anggota Knesset menggambarkan dirinya dan rekan-rekannya saat mengambil keputusan tersebut bagaikan “pencuri-pencuri di malam hari” dan memang begitulah kenyataannya yang mereka lakukan.
Keputusan itu tidak saja mengarah kepada perluasan batas-batas wilayah Jerusalem dan isyarat simbolis kemenangan Yahudi pada Juni kelabu (1967) dengan mengontrol pusat-pusat kota, namun juga mengarah kepada pembagian desa-desa dan kota-kota, menguliti ribuan dunum (1 dunum: 1000 m2) tanah warga Palestina di kota-kota yang diduduki dan diisolasi dari sekitarnya. Bahkan sudah terjadi di sebuah desa atau kota, perkampungan penduduk berada di dalam tapal batas “negara Israel”, sementara perkampungan penduduk lainnya di luar tapal batas. Juga ada ribuan warga Palestina yang membutuhkan surat izin untuk pergi ke rumah-rumah mereka yang sudah menjadi dan berada di dalam tapal batas wilayah Israel yang baru, sementara ribuan penduduk lainnya terpaksa tidak dapat bertemu dengan penduduk kampung lainnya atau penduduk kota lainnya serta sanak keluarga mereka, karena tidak dapat lagi mengunjungi mereka. Mereka harus mengalami dan menanggung semua perlakuan itu disebabkan begitu luar biasanya fenomena kebijakan rasisme Zionis Israel. Bahkan di sana ada jalan-jalan ke tanah para warga Palestina yang tidak boleh mereka lewati, sementara orang-orang asing dan baru datang dari berbagai belahan dunia menjadi tuan atas jalan-jalan tersebut; mereka menguasai tanah-tanah itu dan mereka berhak menekan siapa saja yang mereka benci dan membunuh siapa yang mereka mau…!
Berbagai serbuan pembangunan pusat-pusat pemukiman Yahudi yang bertubi-tubi sesuai dengan rencana-rencana yang telah ditetapkan sejak puluhan tahun itu telah mengarah kepada pentasbihan pemisahan etnis. Sebagai contoh, pemetaan pusat-pusat pemukiman Yahudi sepanjang green line dan sekitar kota Jerusalem serta di lembah Yordan mengakibatkan pembagian wilayah Tepi Barat yang diduduki menjadi tiga bagian yang terpisah-pisah bagi Palestina, sementara wilayah Imperialis Israel merupakan satu bagian yang utuh. Sudah pasti sesuai dengan pembagian ini akan sangat berbahaya bagi warga Palestina untuk masuk atau bahkan sekadar melewati wilayah-wilayah yang luas di Tepi Barat.
Pada Maret 1993, rezim Imperialis Israel membuat rencana dan langkah-langkah masif mengisolasi kota Jerusalem dan desa-desa sekitar Jerusalem Barat. Warga Palestina dilarang masuk sama sekali dan sepanjang pendudukan, rezim Imperialis Israel menerapkan pelarangan atau embargo sementara yang berlaku selama beberapa hari atau bulan. Semua itu sebagai langkah awal rencana besar, yaitu merubah kota suci Jerusalem menjadi kota-kota kecil menyerupai tahanan setelah melarang warga Palestina masuk ke dalamnya. Karena itu, situasi dan kondisi Masjid Al Aqsha semakin menyedihkan seperti yang terjadi sekarang ini.
Imperialis Israel terus melakukan pemisahan etnis dan “pembelahan” apa yang dikenal dengan pembuatan “jalan-jalan pengepung”; jalan besar yang dibangun membentang di atas tanah desa-desa dan kota-kota Palestina yang menyerupai jalan-jalan bebas hambatan (highway) di kota-kota Eropa dan Amerika Serikat untuk para pemukim Yahudi.
Jalan-jalan semacan ini dibangun secara masif setelah Perjanjian Oslo, pihak Mahkamah Agung Israel menolak gugatan yang diajukan oleh lembaga HAM atas pembangunan jalan-jalan tersebut karena pihak pemerintah otoritas Palestina telah menyepakati pembangunan itu dalam bentuk kesepakatan tertulis.
Akibatnya, warga Palestina mengalami kesulitan untuk bergerak di jalan-jalan di atas tanah mereka sendiri. Baik melewati jalan bebas hambatan maupun melewati ruas-ruas jalan lainnya, telah banyak korban berjatuhan sebagai syuhada’ dari para petani di atas aras pembantaian di jalan-jalan tersebut oleh sniper-sniper Imperialis Israel ataupun oleh senjata otomatis para pemukim Zionis-Yahudi.
Pihak Imperialis Israel terus memburu warga Palestina hingga sampai di jalan-jalan yang masih tersisa buat mereka, militer Israel menutup jalan-jalan yang masih tersisa. Warga Palestina pun akhirnya hanya bisa melewati jalan-jalan yang terkepung dan membelah jalan-jalan lain dengan sangat sulit.
Pihak Imperialis Israelpun kembali ke cara-cara lama, membuat pagar dan kawat berduri untuk memisahkan desa-desa dan kota-kota menjadi pecahan-pecahan (enclave) dengan jalan-jalan bebas hambatan (highway) dekat rumah-rumah penduduk, seperti yang terjadi di Desa Hausan. Mereka juga membuat rencana pembangunan pagar kawat; meskipun merealisasikan proyek semacam ini sangat sulit dilakukan, namun Imperialis Israel telah memulainya. Ini berarti akan semakin mengisolasi warga Palestina dalam sel-sel kecil serta perampasan tanah-tanah mereka pun semakin bertambah.
Untuk memperjelas gambaran dan potret kondisi yang terjadi di bumi Palestina bisa ditengok ke propinsi Bethlehem, sebagai sampelnya. Di sini, wilayah yang berada di bawah kendali kekuasaan pemerintah Otoritas Palestina hanya 7,8 persen saja dari total luas propinsi yang mencapai 607 km, bahkan dari prosentase yang kecil inipun masih diduduki seluruhnya oleh rezim Imperialis Israel. Sekitar 2,7 persen untuk dibangun jalan bebas hambatan, area B (sipil di bawah kendali otoritas Palestina sedangkan militer di bawah kendali Israel) sebesar 5,7 persen dan area C (yang merupakan wilayah yang dikuasai secara total dan permanen oleh Imperialis Israel) sebanyak 69,5 persen. Kemudian sekitar 17% disita untuk perlindungan alam.
Semua ini bukan sekadar kisah yang nampak di permulaannya saja. Pembanguan jalan-jalan highway terus bertambah, pendirian pemukiman semakin besar, sementara larangan bepergian dan beraktivitas bagi warga Palestina menjadi semacam kepastian sehari-hari; perampasan tanah terus terjadi. Pemukiman terus berubah menjadi kota-kota besar, berkembang setiap hari sementara kota-kota Palestina semakin hari semakin mengecil dan kemudian menjadi perkampungan kecil di pinggiran kota-kota pemukiman yang terus berkembang besar dan besar…!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments: